Impian Itu di Depan Mata

Yeay it's time to tell a story, alias curhat, tapi ga sembarang curhat yaa

Let's begin

Awal pernikahan, jujur, saya paling ga bisa yang namanya nabung. Gak pernah konsisten, ga pernah bikin target, dan apa adanya. Jadinya, entah kemana uang yang disimpan itu (kebanyakan disimpen di laci, wkwk receh banget)

Orang tua saya termasuk bukan tipikal orang yang suka menabung. Makanya saya juga sulit untuk mengelola keuangan. Apalagi saya ingat bener perkataan bapak dan ibu saya waktu itu, 'mumpung ada uang, mending belikan sesuatu yang bermanfaat, dari pada nanti uang hilang (kepakai) untuk hal yang gak jelas'

Nah, oleh karena itu, ketika saya punya uang, saya langsung menghabiskannya. Entah untuk apa, bisa jadi saya membeli sesuatu yang bermanfaat, bisa jadi tidak. Well, hal itu akhirnya menjadi pola hidup saya dalam mengelola keuangan.

Beda halnya dengan suami saya. Suami saya merupakan tipikal orang yang paliiiiing perhitungan (i've ever met). Pelit? Sebenarnya enggak, cuma menurut prinsip keuangan dia, hidup itu harus seimbang, bahkan harus lebih banyak mengalokasikan anggaran investasi (tabungan) daripada pengeluaran. Jadi untuk membelanjakan suatu barang, kita mesti banyak membandingkan harga. Gak apa-apa capek yang pasti bisa dapat lebih murah dengan barang yang sama/sebanding. Makanya dia akan selalu menghitung belanjaan di supermarket dan membandingkan harganya antara brand satu dengan yang lain (terutama popok bayi saat itu, wkwk).

Inilah yang menyebabkan saya agak shock di awal pernikahan, karena pengelolaan keuangan dia yang menyetir. Saya pegang uang, atm, dan ibanking, tapi dia yang menyetir semuanya. Saya catat laporan keuangan harian dan bulanan, meski ga konsisten. Asal dia tahu rata-rata pengeluaran kami berapa sehingga bisa memastikan & mengerem pengeluaran jika sudah terlalu kelewatan, sehingga kami bisa terus menabung tiap bulannya.

Di awal pernikahan kami memiliki impian yang sama. Mungkin impian yang sama untuk semua pasangan suami istri yang baru menikah, yaitu RUMAH. Saya masih ingat  saat itu, suami saya menuliskan semua hal yang akan kami capai, setidaknya dalam 5 tahun kedepan. Dia menulisnya di kertas HVS dan menempelnya di cermin, agar kami selalu semangat. Salah satunya adalah memiliki rumah.

Saat itu, saya tidak bisa membayangkan darimana datangnya uang untuk membeli/membangun rumah. Karena saat itu kami berjanji, kami tidak akan membeli rumah KPR konvensional. Jika pun KPR, maka kami akan memilih untuk yang syariah. Tapi KPR Syariah biasanya harus membayar DP yang tidak sedikit, tidak semurah DP kpr konvesional. Saya tidak bisa membayangkan harus nabung berapa perbulan agar kami bisa punya rumah?

Saya pasrah dan menyerahkan pengelolaan uang kepada suami saya (khususnya tabungan). Pada saat ia bekerja di perusahaan yang lebih baik penghasilannya, ia menargetkan bahwa sekitar 20-25% dari penghasilannya itu dialokasikan untuk tabungan tanah dan rumah perbulannya. Pada saat itu, kami memang sudah memiliki tabungan. Rekening tidak pernah minim saldo. Kami pun hidup dengan sangat sangat hemat, berbelanja benar-benar sesuai kebutuhan, jajan di luar mungkin dua bulan sekali dan saya cukup bisa beradaptasi dengan hal itu, meski saya kaget pada awalnya. Tapi saya niatkan ini demi masa depan kami.

Setelah kami punya cukup uang, kami berkeliling untuk mencari tanah murah dan cukup strategis untuk membelinya, setidaknya untuk investasi. Kami belum memutuskan, apakah kami akan membangun rumah, membeli via KPR syariah, atau membeli cash rumah subsidi. Yang jelas kami sudah punya tanah sebagai investasi. Hal ini terjadi di tahun ke dua pernikahan kami. Kami bisa membeli tanah dengan harga di bawah pasaran, tidak terlalu jauh dari kota (meskipun masuk kabupaten), dan cukup strategis (meski berada di kawasan gunung).

Kami pun mulai bekerja keras lagi setelah uang tabungan habis untuk membeli tanah. Alhamdulillah, suami diterima di sebuah perusahaan yang lebih baik lagi, sehingga kami bisa menaikan alokasi tabungan menjadi 30-40% perbulannya. Penghasilan saya sebagai marketing olshop pun semakin meningkat, sehingga kami bisa hidup dengan cukup, bahkan lebih baik dari sebelumnya. Kami bisa membeli apa yang dibutuhkan dan diinginkan, tetap dengan prinsip keuangan yang sama, bahwa kami ingin memiliki rumah dalam waktu 3 tahun ke depan. Suami selalu menargetkan kepada saya untuk bisa menyimpan dari hasil penjualan, meski tidak sebesar punyanya. Saya pun berkomitmen, meski kadang tidak tercapai sesekali.

Kami melihat harga rumah semakin tinggi dari tahun ke tahun. Rasanya jika harus membayar cicilan sepanjang 10 tahun ke depan, kami tidak akan sanggup. Bukan tidak sanggup dengan biaya cicilannya, akan tetapi kami tidak sanggup jika harus menanggung utang berlama-lama meski di KPR syariah. Akhirnya kami memutuskan untuk membangun rumah saja di tanah yang sudah kami beli, dengan pertimbangan mungkin akan bisa dapat lebih murah dengan kualitas sebanding dengan rumah di komplek perumahan. Awalnya kami sempat mempertimbangkan untuk membeli rumah subsidi yang punya harga lebih murah, sehingga kami bisa membeli secara tunai. Tetapi kami ragu dengan kualitas bangunan, oleh karena itu kami pun kembali ke pilihan semula.

Saya mulai merancang sendiri desain rumah yang diinginkan, sesuai budget. Kami pun mulai mencari kontraktor rumah yang kira-kira bisa membangun rumah impian kami  dan tentunya sesuai budget, lalu survey untuk melihat kualitas. Alhamdulillah, Allah pertemukan kami dengan kontraktor profesional, berpengalaman, dan tentu saja bisa membangun rumah kami sesuai dengan budget.

Impian itu semakin dekat, ketika kami sudah deal dengan kontrak pembangunan rumah kami. Tinggal menghitung hari, impian kami akan terwujud. Hanya saja masih banyak PR yang harus kami kerjakan. Target tetap ada agar impian itu terwujud dengan sempurna.

Semoga saja, Allah selalu memudahkan jalan kami menuju impian pertama kami, dan impian-impian selanjutnya sampai ke surga. Aamiiin ya Rabbal'alamiin....

my dream house





Share this:

, , , ,

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment