Berpesan Via Fiksi, Why Not?





Menulis fiksi sudah saya lakoni sejak SMP. Karakter literasi ini saya dapatkan sejak kecil. Saat itu saya memang sangat senang membaca fiksi dan karya literatur anak, seperti dongeng, fabel, dan cerita bergambar. Dari sanalah mungkin imajinasi saya terbentuk hingga saat ini meski saya sudah memiliki anak.

Memulai menulis fiksi memang tidak mudah. Jika yang terbiasa, agar ide dengan mudah dikembangkan maka kita haruslah menulis kerangka cerita terlebih dahulu. Kemudian memuat unsur-unsur intrinsik serta ekstrinsik apa yang akan dimasukkan dalam cerita. Barulah dari sana, ide cerita tiap bab akan berkembang secara alami.

Seperti yang saya sudah tulis sebelumnya. Menulis fiksi meskipun liar haruslah bermanfaat atau memiliki nilai yang bisa didapat oleh pembacanya. Bukan hanya sekedar untuk menghibur, tetapi misalnya untuk memberikan informasi atau wawasan lain, mengingatkan, serta memberi nasihat yang halus sekalipun.

Saya berusaha menerapkan cara seperti ini untuk tulisan saya yang terbaru. 

Misalnya untuk buku keempat saya yang berjudul, An Ending Overcast 
An Ending Overcast, saya tulis di tahun 2014 tepatnya di bulan Maret. Novel ini saya tulis dengan tujuan untuk menantang diri mengikuti Bulan Narasi yang diadakan oleh NulisBuku, salah satu perusahaan self publisher. Tantangannya adalah kita mesti menyelesaikan tulisan novel dalam satu bulan penuh. Inspirasi yang saya masukkan ke dalam cerita ini adalah kisah saya sendiri, meskipun hanya beberapa bagian inti saja. Selebihnya saya membawa isu hijrah untuk tokohnya. Jika dibaca dari awal, maka para pembaca mungkin tidak akan mengira kalau saya memasukan unsur religi pada novel ini. Pembaca akan menemukannya di pertengahan menuju akhir. Banyak memuat pesan agama karena memang tokohnya hijrah, karena ia terlalu berharap pada cinta manusia, sehingga membuat dirinya kecewa. Hanya saja justru dari peristiwa itu ia bisa menjemput hidayah yang selama ini tak pernah dihiraukannya. Akhirnya, si tokoh utama memutuskan hijrah, menutup aurat dengan sempurna. Bonusnya, ia mendapatkan jodoh yang lebih baik dari dirinya.

Novel ini juga bisa di akses di aplikasi Ipusnas, milik pemerintah, yeaay :D




Mahasiswaku, Calon Suamiku? (S1) Ini adalah novel keempat yang saya terbitkan di platform novel online. Terbit di Februari 2020. Saat menulis ini, awalnya saya hanya mengingat seorang dosen perempuan nyentrik yang pernah mengajar di kampus. Saat itu beliau menikahi mahasiswanya yang jauh lebih muda usianya. Melihat geliat pasar roman di platform online, serta dengan banyaknya cerita perjodohan yang terpaksa, akhirnya saya memutuskan untuk memberi warna baru pada tulisan saya ini. Apa bedanya dengan yang lain? Kisah pertemuan kedua tokoh utama antara dosen cantik dan mahasiswa ganteng memang di kampus, tetapi kisah percintaan mereka berlanjut sejak perjodohan orang tua menyatukan mereka. Lha, sama aja dong dijodohkan? Memang. Tetapi di sini saya membawakan kedewasaan berpikir pada tokohnya, terutama pada si mahasiswa. Usia bukanlah patokan kedewasaan seseorang.

Saya juga berusaha memuat pesan untuk bagaimana menyiapkan pernikahan agar keluarga yang dibangun bisa kuat, utuh, dan sesuai dengan harapan mereka. Bagaimana akhirnya cinta memilih mereka ketika hati membiarkannya masuk. Akhirnya sang dosen yang keras kepala itu, mau menerima mahasiswanya sebagai suami. Meski saya bumbui awal pernikahan mereka dengan status pernikahan yang disembunyikan, karir serta penampilan dosennya yang terus menjadi obsesi, serta penundaan memiliki keturunan. Jadi, meskipun dijodohkan dan awalnya mereka tidak rela (dosennya), nilai-nilai pernikahan, ilmu rumah tangga, harus tetap dipersiapkan dengan baik. Prinsip mereka adalah pernikahan seumur hidup.

Sama seperti cerita An Ending Overcast, para pembaca tidak akan menyangka bahwa novel ini akan membawa pesan-pesan moral agama di pertengahan dan akhir ceritanya. Keras sikap dosen cantik tadi akhirnya membawanya hijrah setelah ia menyadari kesalahan besarnya, ia tidak sanggup hidup berjauhan dengan suaminya serta peristiwa kecelakaan anaknya semakin membuatnya terpuruk, sehingga ia memutuskan untuk melepas karir dan kembali pada tugas mulia seorang wanita yaitu menjadi ibu seutuhnya. Mimpinya menjadi dosen yang mumpuni harus ia kubur dalam-dalam demi menyelamatkan sang anak dari trauma dan cacat. Inilah yang membawa titik balik dalam kehidupan tokohnya. 

Sebenarnya, cerita MCS (Mahasiswaku Calon Suamiku?) belum berakhir, karena saya masih melanjutkan sekuelnya dengan anak-anak tokoh di musim pertama sebagai pemeran utama. Tetapi mungkin akan saya ceritakan nanti kalau novel ini sudah tamat ya :D

Alhamdulillah, banyak apresiasi yang saya dapatkan dari para pembaca setia. Mereka mengapresiasi karya saya memiliki banyak pesan yang bisa mereka ambil, baik itu terkait dengan wawasan sastra, bahasa, agama, maupun terkait dengan pernikahan dan rumah tangga. Meski memang konflik yang saya sajikan begitu ringan, saya hanya ingin pembaca merasa terlibat di dalamnya. Bahkan beberapa dari mereka merasa bahwa kisah mahasiswa dan dosen adalah kisah mereka juga. 

Saya bersyukur, karya ini dapat memberikan hikmah dan pelajaran. Jadi mengapa tidak kita menggunakan fiksi sebagai sarana untuk berpesan atau memberi nasihat. Ya tidak?

Salam literasi dari Choi Aerii <3




Share this:

, , , , ,

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment