Menulis Fiksi adalah Sebuah Refleksi

 



Sudah hampir satu tahun ini, saya tidak pernah berhenti menulis. Tidak ada satu hari pun tanpa menulis. Pagi, siang, dan malam, jari-jari ini menari lincah di atas keyboard laptop. Menyenangkan memang ketika terjun untuk menggeluti hobi lama yang kembali tumbuh. Apalagi benak ikut bermain untuk semakin membuat tulisan berwarna.

Ya, saya terus menulis fiksi tanpa henti sejak Februari 2020. Mungkin ini diawali oleh pandemi, dimana pekerjaan sebelumnya sebagai digital marketing (penjual online) terkendala karena penjualan terus merosot. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk kembali terjun menulis fiksi, tetapi di platform digital.

Awalnya, saya hanya menulis dengan tema dan genre mengikuti selera pasar saja. Maksudnya, saya tidak benar-benar berniat menulis dengan pesan. Tetapi akhirnya saya kembali diingatkan oleh sanubari terdalam. Untuk apa menulis jika hanya untuk menghibur (entertain), dan bukan mendidik atau memberi pesan (educate). Semua orang bisa melakukannya jika untuk sekedar menghibur saja dan mencari materi. Tetapi sebuah tantangan juga nilai tambahan, jika saya bisa menulis dengan pesan dan prinsip kehidupan yang sudah dipegang. Itu juga akhirnya akan menjadi sarana dakwah, dengan cara yang sangat halus dan mungkin sangat implisit. Hanya saya dan Allah yang tahu.

Nah, dari sanalah saya meluruskan niat, memperbaiki kerangka. Dengan menggunakan metode pengembangan karakter, memasukan isu-isu kehidupan yang jarang diangkat, akhirnya saya bisa melakukannya. Tidak menyangka apresiasi pembaca juga cukup banyak di tulisan pertama saya. Alhamdulillah.

Dakwah adalah kasih sayang. Dakwah juga adalah sebuah refleksi. Memberi pesan pada orang lain, tetapi juga memberikan perenungan mendalam bagi yang menyampaikan.

Oleh karena itu, menulis fiksi bagi saya juga adalah sebuah refleksi. Meskipun hal yang diangkat adalah cerita rekaan sekalipun, yang bisa saja tidak terjadi di dunia nyata. Tetapi hal itu bisa sangat mungkin untuk menjadi sebuah perenungan bagi kehidupan nyata. Baik bagi pembaca karya saya, ataupun bagi saya secara khusus.

Menulis fiksi menjadi ajang perenungan ketika kita bermain dengan plot atau peristiwa yang disisipkan di sana. Juga merefleksikan berbagai karakter tokoh yang diciptakan dalam cerita. Serta, membangun empati dan simpati, sehingga diri ini menjadi lebih peka terhadap apa yang ada di sekitar. Bisa seperti itu. Kenapa? Karena penulis belajar untuk menjadi atau menciptakan berbagai karakter dengan banyak sifat yang berbeda. 

Tulisan fiksi yang dibuat juga sebagai sarana pengingat (reminder), muhasabah (evaluasi), dan juga perbaikan bagi diri di kehidupan nyata. 

Dan itulah yang selalu saya coba terapkan sebagai seorang penulis fiksi yang berbeda dan idealis. 

Semoga saja, saya bisa tetap konsisten dan istiqomah memegang prinsip ini dalam kepenulisan karya saya. Aamiin.



Share this:

, , , ,

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment